1. Zaman Batu Tua (Palaeolithikum)
Palaeolithikum (Zaman batu tua) adalah zaman purba yang berlangsung antara
750.000 tahun sampai 15.000 tahun yang lalu, ditandai oleh pemakaian alat-alat
serpih; zaman batu tua. Disebut Zaman batu tua (palaeolitikum),
sebab alat-alat batu buatan manusia masih dikerjakan secara kasar, tidak diasah
atau dipolis.
Pada
zaman ini, manusia hidup secara nomaden dalam kumpulan kecil untuk mencari
makanan. Mereka memburu binatang, menangkap ikan dan mengambil hasil hutan
sebagai makanan. Mereka belum bisa bercocok tanam. Mereka menggunakan batu,
kayu dan tulang binatang untuk membuat peralatan memburu. Mereka membuat
pakaian dari kulit binatang tangkapan mereka. Selain itu, mereka telah pandai
menggunakan api untuk memasak, memanaskan badan dan mengusir binatang. Apabila
dilihat dari sudut mata pencariannya periode ini disebut masa berburu dan
meramu makanan tingkat sederhana. Pendukung kebudayaan ini adalah Homo Erectus
yang berdiri.
Masa
paling awal dari peradaban manusia ini ditandai dengan ditemukannya fosil-fosil
manusia purba yang dalam perhitungan ilmiah berusia sekitar 1 juta tahun yang
lalu. Contoh manusia purba saat itu adalah Phitecantropus Erectus, yang
dari bentuk ukuran tulang pahanya (femur) dapat dikategorikan sebagai homo
erectus atau manusia yang berjalan tegak. Dan alat berburunya seperti kapak
genggam, menunjukkan corak produksi manusia masa itu masih dalam masa
perburuan. Dalam masa ini manusia masih berpindah-pindah dari satu tempat ke
tempat lainnya dalam usahanya mendapatkan binatang buruan.
Beberapa peninggalan hasil kebudayaan dari zaman
paleolitikum, di antaranya adalah kapak genggam, kapak perimbas, monofacial,
alat-alat serpih, chopper, dan beberapa jenis kapak yang telah dikerjakan kedua
sisinya. Alat-alat ini tidak dapat digolongkan ke dalam kebudayaan batu teras
maupun golongan flake.
Alat-alat ini dikerjakan secara sederhana dan masih sangat
kasar. Bahkan, tidak jarang yang hanya berupa pecahan batu. Beberapa hasil
kebudayaan dari zaman paleolitikum, di antaranya adalah kapak genggam, kapak
perimbas, monofacial,alat-alat serpih, chopper, dan beberapa jenis kapak yang
telah dikerjakan kedua sisinya.
Contoh alat-alat tsb adalah :
Kapak Genggam, banyak ditemukan di daerah Pacitan. Alat ini
biasanya disebut “Chopper” (alat penetak/pemotong)Dinamakan kapak genggam,
karena alat tersebut serupa dengan kapak, tetapi tidak bertangkai dan cara
mempergunakannya dengan cara menggenggam. Kapak genggam terkenal juga dengan
sebutan kapak perimbas, atau dalam ilmu prasejarah disebut dengan chopper
artinya alat penetak. Pembuatan kapak genggam dilakukan dengan cara memangkas
salah satu sisi batu sampai menajam dan sisi lainnya dibiarkan apa adanya
sebagai tempat menggenggam.
Cara menggunakan chopper adalah jika kita akan memotong kayu yang
basah atau tali yang besar, sementara kita tidak memiliki alat pemotong, maka
kita dapat mengambil pecahan batu yang tajam. Kayu atau tali yang akan dipotong
diletakan pada benda yang keras dan bagian yang kan dipotong dipukul dengan
batu, maka kayu atau tali akan putus. Itulah, cara menggunakan kapak penetak
atau chopper
Alat-alat dari tulang binatang atau
tanduk rusa
Fungsi: -untuk mengorek ubi dan
keladi dari dalam tanah
- menangkap ikan
- menangkap ikan
Flakes,
yaitu alat-alat kecil yang terbuat dari batu Chalcedon,yang dapat digunakan
untuk mengupas makanan. Fungsi: -untuk menguliti hewan buruan
-mengiris daging buruan
-memotong umbi-umbian, buah-buahan
-menangkap ikan
-mengiris daging buruan
-memotong umbi-umbian, buah-buahan
-menangkap ikan
Alat-alat ini tidak dapat digolongkan kedalam kebudayaan batu teras maupun golongan flake. Alat-alat ini dikerjakan secara sederhana dan masih sangat kasar. Bahkan, tidak jarang yang hanya berupa pecahan batu. Beberapa contoh hasil kebudayaan dari zaman paleolitikum dapat dilihat pada gambar di bawah ini.. Contoh hasil kebudayaan dari zaman paleolitikum adalah flake atau alat-alat serpih.
Hasil kebudayaan ini banyak ditemukan di wilayah Indonesia, terutama di Sangiran (Jawa Tengah) dan Cebbenge (Sulawesi Selatan). Flake memiliki fungsi yang besar,terutama untuk mengelupas kulit umbi-umbian dan kulit hewan. Berdasarkan tempat penemuannya, hasil-hasil kebudayaan
Zaman
batu tua di Indonesia dibagi menjadi dua, yaitu kebudayaan Ngandong dan
kebudayaang Pacitan.
a. Kebudayaan Pacitan
Pada tahun 1935, von Koenigswald menemukan alat batu dan kapak genggam di daerah Pacitan.Kapak genggam itu berbentuk kapak,tetapi tidak bertangkai. Kapak ini masih dikerjakan dengan sangat kasar dan belum dihaluskan. Para ahli menyebutkan bahwa kapak itu adalah kapak penetak. Selain di Pacitan alat-alat banyak ditemukan di Progo dan Gombong (Jawa Tengah), Sukabumi (Jawa Barat), dan Lahat (Sumatera Utara)
b. Kebudayaan Ngandong
Para ahli berhasil menemukan alat-alat dari tulang,kapak genggam, alat penusuk dari tanduk rusa dan ujung tombak bergigi di daerah Ngandong dan Sidoarjo. Selain itu, di dekat Sangiran ditemukan alat sangat kecil dari betuan yang amat indah. Alat ini dinamakan Serbih Pilah, dan banyak ditemukan di Cabbenge (Sulawesi Selatan) yang terbuat dari batu-batu indah seperti kalsedon. Kebudayaan Ngandong juga didukung oleh penemuan lukisan pada dinding goa seperti lukisan tapak tangan berwarna merah dan babi hutan ditemukan di Goa Leang PattaE (Sulawesi Selatan)
Hasil kebudayaan cara hidup pendukung kebudayaan Pacitan
- kapak genggam
- kapak perimbas
- alat serpih
Kebudayaan Ngandong
- kapak genggam
- alat dari tulang dan
- tanduk rusa
- alat serpih(flake)
a. Kebudayaan Pacitan
Pada tahun 1935, von Koenigswald menemukan alat batu dan kapak genggam di daerah Pacitan.Kapak genggam itu berbentuk kapak,tetapi tidak bertangkai. Kapak ini masih dikerjakan dengan sangat kasar dan belum dihaluskan. Para ahli menyebutkan bahwa kapak itu adalah kapak penetak. Selain di Pacitan alat-alat banyak ditemukan di Progo dan Gombong (Jawa Tengah), Sukabumi (Jawa Barat), dan Lahat (Sumatera Utara)
b. Kebudayaan Ngandong
Para ahli berhasil menemukan alat-alat dari tulang,kapak genggam, alat penusuk dari tanduk rusa dan ujung tombak bergigi di daerah Ngandong dan Sidoarjo. Selain itu, di dekat Sangiran ditemukan alat sangat kecil dari betuan yang amat indah. Alat ini dinamakan Serbih Pilah, dan banyak ditemukan di Cabbenge (Sulawesi Selatan) yang terbuat dari batu-batu indah seperti kalsedon. Kebudayaan Ngandong juga didukung oleh penemuan lukisan pada dinding goa seperti lukisan tapak tangan berwarna merah dan babi hutan ditemukan di Goa Leang PattaE (Sulawesi Selatan)
Hasil kebudayaan cara hidup pendukung kebudayaan Pacitan
- kapak genggam
- kapak perimbas
- alat serpih
Kebudayaan Ngandong
- kapak genggam
- alat dari tulang dan
- tanduk rusa
- alat serpih(flake)
- berburu dan mengumpulkan makanan
(food gathering), berpindah-pindah(nomaden), mengenal api, memelihara hewan
(Phitecanthropus Erectus) hidup di padang rumput.
Manusia pendukung kebudayaan ini
adalah :
- Pacitan : Pithecanthropus dan
2. Ngandong : Homo Wajakensis dan Homo
soloensis
Pada Zaman Paleolitikum, di samping
ditemukan hasil-hasil kebudayaan, juga ditemukan beberapa peninggalan
sebagaimana yang ditemukan di Sangiran dan Cebbenge, seperti tengkorak (2
buah), fragmen kecil dari rahang bawah kanan, dan tulang paha (6 buah) yang
diperkirakan dari jenis manusia.
Selama masa paleolitikum tengah, jenis manusia itu tidak banyak mengalami perubahan secara fisik. Pithecanthropus Erectus adalah nenek moyang dari Manusia Solo (Homo Soloensis). Hal yang agak aneh karena Pithecanthropus memiliki dahi yang sangat sempit, busur alis mata yang tebal, otak yang kecil, rahang yang besar, dan geraham yang kokoh.
Selama masa paleolitikum tengah, jenis manusia itu tidak banyak mengalami perubahan secara fisik. Pithecanthropus Erectus adalah nenek moyang dari Manusia Solo (Homo Soloensis). Hal yang agak aneh karena Pithecanthropus memiliki dahi yang sangat sempit, busur alis mata yang tebal, otak yang kecil, rahang yang besar, dan geraham yang kokoh.
2.
Zaman Batu Besar (Mesolithikum)
Ciri kebudayaan Mesolithikum tidak jauh berbeda dengan kebudayaan Palaeolithikum, tetapi pada masa Mesolithikum manusia yang hidup pada zaman tersebut sudah ada yang menetap sehingga kebudayaan Mesolithikum yang sangat menonjol dan sekaligus menjadi ciri dari zaman ini yang disebut dengan kebudayaan Kjokkenmoddinger dan Abris sous Roche.
Alat-alat zaman Mesolithikum :
- Kapak genggam (peble)
- Kapak pendek (hache Courte)
- Pipisan (batu-batu penggiling)
- Kapak-kapak tersebut terbuat dari batu kali yang dibelah.
Kjokkenmoddinger
adalah istilah yang berasal dari bahasa Denmark yaitu kjokken artinya dapur dan
modding artinya sampah jadi Kjokkenmoddinger arti sebenarnya adalah sampah
dapur. Dalam kenyataan Kjokkenmoddinger adalah timbunan atau tumpukan kulit
kerang dan siput yang mencapai ketinggian ± 7 meter dan sudah membatu/menjadi
fosil. Kjokkenmoddinger ditemukan disepanjang pantai timur Sumatera yakni
antara Langsa dan Medan. Dari bekas-bekas penemuan tersebut menunjukkan bahwa
manusia purba yang hidup pada zaman ini sudah menetap. Tahun 1925 Dr. P.V. Van Stein
Callenfels melakukan
penelitian di bukit kerang tersebut dan hasilnya banyak menemukan kapak genggam
yang ternyata berbeda dengan chopper (kapak genggam Palaeolithikum).
Kapak genggam yang ditemukan di dalam bukit kerang tersebut dinamakan dengan pebble atau kapak Sumatera (Sumatralith) sesuai dengan lokasi penemuannya yaitu di pulau Sumatera.
Kapak genggam yang ditemukan di dalam bukit kerang tersebut dinamakan dengan pebble atau kapak Sumatera (Sumatralith) sesuai dengan lokasi penemuannya yaitu di pulau Sumatera.
Bentuk
pebble dapat dikatakan sudah agak sempurna dan buatannya agak halus. Bahan
untuk membuat kapak tersebut berasal dari batu kali yang dipecah-pecah. Selain
pebble yang ditemukan dalam Kjokkenmoddinger juga ditemukan sejenis kapak
tetapi bentuknya pendek (setengah lingkaran) yang disebut dengan Hache
Courte atau kapak pendek. Kapak ini cara penggunaannya dengan
menggenggam.
Di
samping kapak-kapak yang ditemukan juga ditemukan pipisan (batu-batu penggiling
beserta landasannya). Batu pipisan selain dipergunakan untuk menggiling makanan
juga dipergunakan untuk menghaluskan cat merah, bahan cat merah yang dihaluskan
berasal dari tanah merah. Kecuali hasil-hasil kebudayaan, di dalam
Kjokkenmoddinger juga ditemukan fosil manusia yang berupa tulang belulang,
pecahan tengkorak dan gigi, meskipun tulang-tulang tersebut tidak memberikan
gambaran yang utuh/lengkap, tetapi dari hasil penelitian memberikan kesimpulan
bahwa manusia yang hidup pada masa Mesolithikum adalah jenis Homo
Sapiens.
Abris
Sous Roche adalah goa-goa yang yang dijadikan tempat tinggal manusia purba pada
zaman Mesolithikum dan berfungsi sebagai tempat perlindungan dari cuaca dan
binatang buas. Penyelidikan pertama pada Abris Sous Roche dilakukan oleh Dr.
Van Stein Callenfels tahun 1928-1931 di goa Lawa dekat Sampung Ponorogo Jawa
Timur.
Salah satu
peninggalan zaman mesolitik berupa Abris sous roche.
Alat-alat
Kebudayaan Mesolithikum yang ditemukan di gua-gua yang disebut “Abris Sous
Roche” Adapun alat-alat tersebut adalah :
- Flaces (alat serpih) , yaitu alat-alat kecil yang terbuat dari batu dan berguna untuk mengupas makanan.
- Ujung mata panah,
- Batu penggilingan (pipisan),
- Kapak,
- Alat-alat dari tulang dan tanduk rusa,
Alat-alat
ini ditemukan di gua lawa Sampung Jawa Timur (Istilahnya: Sampung Bone Culture
= kebudayaan Sampung terbuat dari Tulang).
Di
antara alat-alat kehidupan yang ditemukan ternyata yang paling banyak adalah
alat dari tulang sehingga oleh para arkeolog disebut sebagai Sampung Bone
Culture/kebudayaan tulang dari Sampung. Karena goa di Sampung tidak
ditemukan Pebble ataupun kapak pendek yang merupakan inti dari kebudayaan
Mesolithikum. Selain di Sampung, Abris Sous Roche juga ditemukan di daerah
Besuki dan Bojonegoro Jawa Timur. Penelitian terhadap goa di Besuki dan
Bojonegoro ini dilakukan oleh Van Heekeren.
Di
Sulawesi Selatan juga banyak ditemukan Abris Sous Roche terutama di daerah
Lomoncong yaitu goa Leang Patae yang di dalamnya ditemukan flakes, ujung mata
panah yang sisi-sisinya bergerigi dan pebble. Di goa tersebut didiami oleh suku
Toala, sehingga oleh tokoh peneliti Fritz Sarasin dan Paul Sarasin, suku Toala
yang sampai sekarang masih ada dianggap sebagai keturunan langsung penduduk
Sulawesi Selatan zaman prasejarah. Untuk itu kebudayaan Abris Sous Roche di
Lomoncong disebut kebudayaan Toala. Kebudayaan Toala tersebut merupakan
kebudayaan Mesolithikum yang berlangsung sekitar tahun 3000 sampai 1000 SM.
Selain
di Jawa Timur dan Sulawesi Selatan, Abris Sous Roche juga ditemukan di daerah
Timor dan Rote. Penelitian terhadap goa tersebut dilakukan oleh Alfred Buhler
yang di dalamnya ditemukan flakes dan ujung mata panah yang terbuat dari batu
indah.
Tiga bagian penting Kebudayaan
Mesolithikum,yaitu :
- Peble-Culture (alat kebudayaan Kapak genggam) didapatkan di Kjokken Modinger
- Bone-Culture (alat kebudayaan dari Tulang)
- Flakes Culture (kebudayaan alat serpih) didapatkan di Abris sous Roche.
Dengan
adanya keberadaan manusia jenis Papua Melanosoide di Indonesia sebagai
pendukung kebudayaan Mesolithikum, maka para arkeolog melakukan penelitian
terhadap penyebaran pebble dan kapak pendek sampai ke daerah teluk Tonkin
daerah asal bangsa Papua Melanosoide. Dari hasil penyelidikan tersebut, maka
ditemukan pusat pebble dan kapak pendek berasal dari pegunungan Bacson dan
daerah Hoabinh, di Asia Tenggara. Tetapi di daerah tersebut tidak ditemukan
flakes, sedangkan di dalam Abris Sous Roche banyak ditemukan flakes bahkan di
pulau Luzon (Filipina) juga ditemukan flakes. Ada kemungkinan kebudayaan flakes
berasal dari daratan Asia, masuk ke Indonesia melalui Jepang, Formosa dan
Philipina.
Berdasarkan uraian materi di atas
dapatlah disimpulkan:
a. Kebudayaan Bacson -
Hoabinh yang terdiri dari pebble, kapak pendek serta alat-alat dari tulang
masuk ke Indonesia melalui jalur barat.
b. Kebudayaan flakes
masuk ke Indonesia melalui jalur timur.
Untuk lebih memahami penyebaran kebudayaan Mesolithikum ke
Indonesia, maka simaklah gambar 7 peta penyebaran kebudayaan tersebut ke
Indonesia.
Dapat disimpulkan, membandingkan penyebaran kebudayaan
Mesolithikum lebih banyak dibandingkan dengan penyebaran kebudayaan
Palaeolithikum. Dengan demikian masyarakat prasejarah selalu mengalami
perkembangan. Pergantian zaman dari Mesolithikum ke zaman Neolithikum
membuktikan bahwa kebudayaannya mengalami perkembangan dari tingkat sederhana
ke tingkat yang lebih kompleks.
3. Zaman Batu Muda (Neolithikum).
Hasil
kebudayaan yang terkenal pada zaman Neolithikum ini adalah jenis kapak persegi
dan kapak lonjong. Contoh alat tersebut :
- Kapak Persegi, misalnya Beliung, Pacul dan Torah untuk mengerjakan kayu. Ditemukan di Sumatera, Jawa, bali, Nusatenggara, Maluku, Sulawesi dan Kalimantan.
- Kapak Bahu, sama seperti kapak persegi ,hanya di bagian yang diikatkan pada tangkainya diberi leher. Hanya di temukan di Minahasa.
- Kapak Lonjong, banyak ditemukan di Irian, Seram, Gorong, Tanimbar, Leti, Minahasa dan Serawak.
- Perhiasan ( gelang dan kalung dari batu indah), ditemukan di jawa.
- Pakaian (dari kulit kayu).
- Tembikar (periuk belanga), ditemukan di daerah Sumatera, Jawa, Melolo(Sumba).
Gambar.
Peninggalan zaman Neolithikum
Asal-usul penyebaran kapak persegi melalui suatu migrasi
bangsa Asia ke Indonesia. Nama kapak persegi diberikan oleh Van Heine Heldern
atas dasar penampang lintangnya yang berbentuk persegi panjang atau trapesium.
Penampang kapak persegi tersedia dalam berbagai ukuran, ada
yang besar dan kecil. Yang ukuran besar lazim disebut dengan beliung dan
fungsinya sebagai cangkul/pacul. Sedangkan yang ukuran kecil disebut dengan
Tarah/Tatah dan fungsinya sebagai alat pahat/alat untuk mengerjakan kayu
sebagaimana lazimnya pahat.
Bahan untuk membuat kapak tersebut selain dari batu biasa,
juga dibuat dari batu api/chalcedon. Kemungkinan besar kapak yang terbuat dari
calsedon hanya dipergunakan sebagai alat upacara keagamaan, azimat atau tanda
kebesaran.
Gambar.
Kapak Chalcedon.
Daerah asal kapak persegi adalah daratan Asia masuk ke
Indonesia melalui jalur barat dan daerah penyebarannya di Indonesia adalah
Sumatera, Jawa, Bali, Nusa Tenggara, Kalimantan, Sulawesi dan Maluku.
Walaupun kapak persegi berasal dari daratan Asia, tetapi di
Indonesia banyak ditemukan pabrik/tempat pembuatan kapak tersebut yaitu di
Lahat (Sumatera Selatan), Bogor, Sukabumi, Karawang, Tasikmalaya, Pacitan serta
lereng selatan gunung Ijen (Jawa Timur). Pada waktu yang hampir bersamaan
dengan penyebaran kapak persegi, di Indonesia Timur juga tersebar sejenis kapak
yang penampang melintangnya berbentuk lonjong sehingga disebut kapak lonjong.
Gambar.
Kapak Lonjong.
Dengan adanya gambar kapak lonjong seperti pada gambar
diatas, bagaimana menurut pendapat Anda bentuk keseluruhan dari kapak lonjong
tersebut?
Sebagian besar kapak lonjong dibuat dari batu kali, dan
warnanya kehitam-hitaman. Bentuk keseluruhan dari kapak tersebut adalah bulat
telur dengan ujungnya yang lancip menjadi tempat tangkainya, sedangkan ujung
lainnya diasah hingga tajam. Untuk itu bentuk keseluruhan permukaan kapak
lonjong sudah diasah halus.
Ukuran yang dimiliki kapak lonjong yang besar lazim disebut
dengan Walzenbeil dan yang kecil disebut dengan Kleinbeil, sedangkan fungsi
kapak lonjong sama dengan kapak persegi. Daerah penyebaran kapak lonjong adalah
Minahasa, Gerong, Seram, Leti, Tanimbar dan Irian. Dari Irian kapak lonjong
tersebar meluas sampai di Kepulauan Melanesia, sehingga para arkeolog
menyebutkan istilah lain dari kapak lonjong dengan sebutan Neolithikum
Papua.
4. Zaman Batu Besar (Megalithikum)
Megalithikum
atau kebudayaan batu besar sesungguhnya bukanlah mempunyai arti timbulnya
kembali zaman batu sesudah zaman logam,
tetapi kebudayaan megalithikum adalah kebudayaan yang menghasilkan
bangunan-bangunan dari batu besar yang muncul sejak zaman Neolithikum dan
berkembang pesat pada zaman logam.
Menurut Von Heine Geldern, kebudayaan Megalithikum menyebar ke Indonesia melalui 2 gelombang yaitu :
1. Megalith Tua menyebar ke Indonesia pada zaman Neolithikum (2500-1500 SM) dibawa oleh pendukung Kebudayaan Kapak Persegi (Proto Melayu). Contoh bangunan Megalithikum adalah menhir, punden berundak-undak, Arca-arca Statis.
2. Megalith Muda menyebar ke Indonesia pada zaman perunggu (1000-100 SM) dibawa oleh pendukung Kebudayaan Dongson (Deutro Melayu). Contoh bangunan megalithnya adalah peti kubur batu, dolmen, waruga Sarkofagus dan arca-arca dinamis.
Dalam uraian di atas, dibuktikan dengan adanya penemuan bangunan batu besar seperti kuburan batu pada zaman prasejarah, banyak ditemukan manik-manik, alat-alat perunggu dan besi. Hasil kebudayaan megalithikum biasanya tidak dikerjakan secara halus, tetapi hanya diratakan secara kasar dan terutama hanya untuk mendapatkan bentuk yang diperlukan.
Peninggalan kebudayaan megalithikum ternyata masih dapat Anda lihat sampai sekarang, karena pada beberapa suku-suku bangsa di Indonesia masih memanfaatkan kebudayaan megalithikum tersebut. Contohnya seperti suku Nias. Contoh-contoh dari hasil kebudayaan megalithikum yang akan disajikan pada uraian materi berikut ini.
1. Menhir
Menhir adalah bangunan yang berupa tugu batu yang didirikan untuk upacara menghormati roh nenek moyang, sehingga bentuk menhir ada yang berdiri tunggal dan ada yang berkelompok serta ada pula yang dibuat bersama bangunan lain yaitu seperti punden berundak-undak.
Lokasi tempat ditemukannya menhir di Indonesia adalah Pasemah (Sumatera Selatan), Sulawesi Tengah dan Kalimantan. Untuk mengetahui bentuk-bentuk menhir, maka simaklah gambar-gambar berikut ini.
Gambar 18. Menhir
Bangunan menhir yang dibuat oleh masyarakat prasejarah tidak berpedoman kepada satu bentuk saja karena bangunan menhir ditujukan untuk penghormatan terhadap roh nenek moyang. Selain menhir terdapat bangunan yang lain bentuknya, tetapi fungsinya sama yaitu sebagai punden berundak-undak.
Menurut Von Heine Geldern, kebudayaan Megalithikum menyebar ke Indonesia melalui 2 gelombang yaitu :
1. Megalith Tua menyebar ke Indonesia pada zaman Neolithikum (2500-1500 SM) dibawa oleh pendukung Kebudayaan Kapak Persegi (Proto Melayu). Contoh bangunan Megalithikum adalah menhir, punden berundak-undak, Arca-arca Statis.
2. Megalith Muda menyebar ke Indonesia pada zaman perunggu (1000-100 SM) dibawa oleh pendukung Kebudayaan Dongson (Deutro Melayu). Contoh bangunan megalithnya adalah peti kubur batu, dolmen, waruga Sarkofagus dan arca-arca dinamis.
Dalam uraian di atas, dibuktikan dengan adanya penemuan bangunan batu besar seperti kuburan batu pada zaman prasejarah, banyak ditemukan manik-manik, alat-alat perunggu dan besi. Hasil kebudayaan megalithikum biasanya tidak dikerjakan secara halus, tetapi hanya diratakan secara kasar dan terutama hanya untuk mendapatkan bentuk yang diperlukan.
Peninggalan kebudayaan megalithikum ternyata masih dapat Anda lihat sampai sekarang, karena pada beberapa suku-suku bangsa di Indonesia masih memanfaatkan kebudayaan megalithikum tersebut. Contohnya seperti suku Nias. Contoh-contoh dari hasil kebudayaan megalithikum yang akan disajikan pada uraian materi berikut ini.
1. Menhir
Menhir adalah bangunan yang berupa tugu batu yang didirikan untuk upacara menghormati roh nenek moyang, sehingga bentuk menhir ada yang berdiri tunggal dan ada yang berkelompok serta ada pula yang dibuat bersama bangunan lain yaitu seperti punden berundak-undak.
Lokasi tempat ditemukannya menhir di Indonesia adalah Pasemah (Sumatera Selatan), Sulawesi Tengah dan Kalimantan. Untuk mengetahui bentuk-bentuk menhir, maka simaklah gambar-gambar berikut ini.
Gambar 18. Menhir
Bangunan menhir yang dibuat oleh masyarakat prasejarah tidak berpedoman kepada satu bentuk saja karena bangunan menhir ditujukan untuk penghormatan terhadap roh nenek moyang. Selain menhir terdapat bangunan yang lain bentuknya, tetapi fungsinya sama yaitu sebagai punden berundak-undak.
2. Punden Berundak-undak
Punden berundak-undak adalah bangunan dari batu yang bertingkat-tingkat dan fungsinya sebagai tempat pemujaan terhadap roh nenek moyang yang telah meninggal. Bangunan tersebut dianggap sebagai bangunan yang suci, dan lokasi tempat penemuannya adalah Lebak Sibedug/Banten Selatan dan Lereng Bukit Hyang di Jawa Timur, sedangkan mengenai bentuk dari punden berundak seperti gambar dibawah ini:
Gambar 19. Punden berundak-undak dan ilustrasinya.
Candi Borobudur di Jawa Tengah adalah bangunan pemujaaan untuk umat Budha, dan menurut Prof. Dr. Sutjipto Wirgosuparto, arsitektur bangunan Borobudur merupakan tiruan atau kelanjutan dari punden berundak-undak.
Persamaan antara Borobudur dengan Punden Berundak-undak adalah sama-sama sebagai bangunan suci karena berfungsi untuk tempat pemujaan. Adapun perbedaannya candi Borobudur merupakan bangunan suci umat Budha, dan bentuk bangunannya sempurna dan indah karena penuh dengan relief dan ragam hias. Sedangkan Punden Berundak-undak hanyalah bangunan biasa yang terbuat dari batu yang disusun bertingkat-tingkat tanpa relief ataupun ragam hias dan sebagai tempat memuja arwah nenek moyang yang sudah meninggal.
3. Dolmen
Dolmen merupakan meja dari batu yang berfungsi sebagai tempat meletakkan saji-sajian untuk pemujaan. Adakalanya di bawah dolmen dipakai untuk meletakkan mayat, agar mayat tersebut tidak dapat dimakan oleh binatang buas maka kaki mejanya diperbanyak sampai mayat tertutup rapat oleh batu.
Dengan demikian dolmen yang berfungsi sebagai tempat menyimpan mayat disebut dengan kuburan batu. Lokasi penemuan dolmen antara lain Cupari Kuningan/Jawa Barat, Bondowoso/Jawa Timur, Merawan, Jember/Jatim, Pasemah/Sumatera, dan Nusa Tenggara Timur.
Gambar 20. Dolmen
Bagi masyarakat Jawa Timur, dolmen yang di bawahnya digunakan sebagai kuburan/tempat menyimpan mayat lebih dikenal dengan sebutan Pandhusa atau makam Cina.
4. Sarkofagus
Sarkofagus adalah keranda batu atau peti mayat yang terbuat dari batu. Bentuknya menyerupai lesung dari batu utuh yang diberi tutup. Dari Sarkofagus yang ditemukan umumnya di dalamnya terdapat mayat dan bekal kubur berupa periuk, kapak persegi, perhiasan dan benda-benda dari perunggu serta besi.
Daerah tempat ditemukannya sarkofagus adalah Bali. Menurut masyarakat Bali Sarkofagus memiliki kekuatan magis/gaib. Berdasarkan pendapat para ahli bahwa sarkofagus dikenal masyarakat Bali sejak zaman logam.
Gambar 21. Sarkofagus
5. Peti kubur
Peti kubur adalah peti mayat yang terbuat dari batu-batu besar. Kubur batu dibuat dari lempengan/papan batu yang disusun persegi empat berbentuk peti mayat yang dilengkapi dengan alas dan bidang atasnya juga berasal dari papan batu.
Daerah penemuan peti kubur adalah Cepari Kuningan, Cirebon (Jawa Barat), Wonosari (Yogyakarta) dan Cepu (Jawa Timur). Di dalam kubur batu tersebut juga ditemukan rangka manusia yang sudah rusak, alat-alat perunggu dan besi serta manik-manik. Dari penjelasan tentang peti kubur, tentu Anda dapat mengetahui persamaan antara peti kubur dengan sarkofagus, dimana keduanya merupakan tempat menyimpan mayat yang disertai bekal kuburnya.
Gambar 22. Peti kubur
Perbedaaan Peti Kubur Dengan Sarkofagus, bahwa sarkofagus adalah keranda/peti mayat yang dibuat dari batu yang masih utuh dan batu utuh tersebut dibentuk seperti lesung yang ada tutupnya. Sedangkan peti kubur adalah peti mayat yang dibuat lempengan-lempengan batu/papan-papan batu disusun membentuk kotak batu yang disertai dengan tutupnya,
6. Arca batu
Arca/patung-patung dari batu yang berbentuk binatang atau manusia. Bentuk binatang yang digambarkan adalah gajah, kerbau, harimau dan moyet. Sedangkan bentuk arca manusia yang ditemukan bersifat dinamis. Maksudnya, wujudnya manusia dengan penampilan yang dinamis seperti arca batu gajah.
Arca batu gajah adalah patung besar dengan gambaran seseorang yang sedang menunggang binatang yang diburu. Arca tersebut ditemukan di daerah Pasemah (Sumatera Selatan). Daerah-daerah lain sebagai tempat penemuan arca batu antara lain Lampung, Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Gambar 23. Arca Batu Gajah dari
Pasemah.
Pada gambar Arca Batu Gajah dari Pasemah tersebut terdapat gambar nekara kecil yang diikat di punggung. Dengan melihat gambar tersebut sebagai salah satu contoh peninggalan Megalithikum, dapat memberikan kesimpulan hubungan antara Kebudayaan Megalithikum dengan Kebudayaan Perunggu seperti yang terlihat pada Arca Batu Gajah.
Penelitian terhadap Kebudayaan Megalithikum di dataran tinggi Pasemah/Sumatera Selatan dilakukan oleh Dr. Van Der Hoep dan Van Heine Geldern. Dari hasil penelitian tersebut disimpulkan bahwa Kebudayaan Perunggu mempengaruhi Kebudayaan Megalithikum atau dengan kata lain Kebudayaan Megalithikum merupakan cabang dari Kebudayaan Dongson (Perunggu).
Kesimpulan ini dibuat karena di Pasemah banyak ditemukan peninggalan budaya Megalith dan budaya perunggu, seperti patung/arca prajurit dengan topi logam/helm yang mengendarai kerbau atau gajah. Prajurit tersebut juga membawa nekara kecil pada panggungnya.
Pada gambar Arca Batu Gajah dari Pasemah tersebut terdapat gambar nekara kecil yang diikat di punggung. Dengan melihat gambar tersebut sebagai salah satu contoh peninggalan Megalithikum, dapat memberikan kesimpulan hubungan antara Kebudayaan Megalithikum dengan Kebudayaan Perunggu seperti yang terlihat pada Arca Batu Gajah.
Penelitian terhadap Kebudayaan Megalithikum di dataran tinggi Pasemah/Sumatera Selatan dilakukan oleh Dr. Van Der Hoep dan Van Heine Geldern. Dari hasil penelitian tersebut disimpulkan bahwa Kebudayaan Perunggu mempengaruhi Kebudayaan Megalithikum atau dengan kata lain Kebudayaan Megalithikum merupakan cabang dari Kebudayaan Dongson (Perunggu).
Kesimpulan ini dibuat karena di Pasemah banyak ditemukan peninggalan budaya Megalith dan budaya perunggu, seperti patung/arca prajurit dengan topi logam/helm yang mengendarai kerbau atau gajah. Prajurit tersebut juga membawa nekara kecil pada panggungnya.
1.
ZAMAN LOGAM
Pada zaman prasejarah, zaman dibedakan berdasarkan alat-alatnya,
yaitu, zaman batu dan logam. Zaman batu yang termuda adalah zaman neolitikum
dan zaman selanjutnya adalah zaman logam. Dengan dimulainya zaman logam, bukan
berati berakhir zaman batu, karena pada zaman logam masih terdapat alat-alat
dan perkakas batu. Nama zaman logam hanya untuk menyatakan bahwa saat itu logam
telah dikenal dan dipergunakan orang
untuk membuat alat-alat yang diperlukan.
Logam tidak dapat dipukul-pukul atau
dipecah seperti batu guna mendapat alat yang dikehendaki. Logam harus dilebur
dahulu dari bijinya untuk dapat dipergunakan. Leburan logam itu yang kemudian
dicetak. Tehnik pembuatan benda-benda dari logam itu dinamakan <<a cire
perdue>>, dan caranya adalah: benda yang dikehendaki dan dibuat terlebih
dahulu dari lilin, lengkap dengan bagian-bagiannya. Kemudian model dari dari
lilin itu ditutup dengan tanah. Dengan jalan dipanaskan maka selubung tanah ini
menjadi keras, sedangkan lilinnya menjadi cair dan mengalir ke luar lubang yang
telah disediakan di dalam selubung itu. Jika telah habis lilinnya, dituangkan
logam cair ke dalam geronggang tempat lilin tadi. Dengan demikian logam itu
menggantikan model lilin tadi. Setelah dingin semuanya, selubung tanahnya
dipecah, dan keluarlah benda yang dikehendaki itu, bukan dari lilin melainkan
logam.
Dari zaman-zaman prasejara, dapat
ketahui bahwa zaman logam dibagi lagi atas zaman tembaga, perunggu dan besi.
Asia Tenggara tidak mengenal zaman tembaga. Setelah neolitikum langsung ke
zaman perunggu dan berlanjut ke zaman
besi. Di Indonesia zaman logam pun sulit untuk dibago ke dalam zaman perunggu
atau besi. Bisa dikatakan bahwa zama logam di Indonesia hanya zama perunggu,
karena alat-alat perkakas besi tidak banyak bedanya dengan alat-alat zaman
perunggu.
2. Zaman Perunggu
Zaman
Perunggu adalah masalah dalam perkembangan
sebuah peradaban ketika kerajinan logam yang paling
maju telah mengembangkan teknik melebur tembaga dari hasil bumi dan membuat perunggu. Zaman Perunggu adalah bagian dari sistem tiga zaman untuk masyarakat prasejarah dan terjadi setelah Zaman Neolitikum di beberapa wilayan di dunia. Di
sebagian besar Afrika subsahara, Zaman Neolitikum
langsung diikuti Zaman
Besi.
Zaman perunggu berlangsung kurang
lebih 500 tahun SM. Teknik pembuatannya adalah a cire perdue (cetak hilang,
hanya sesekali untuk mencetak). Contoh di Bali ditemukan cetak nekara dari
batu. Yang dicetak dengan cetakan batu adalah nekara lilin, sedangkan nekara
perunggunya dicetak dengan a cire perdue. Di jaman sekarang orang
membuat cetakan yang dapat dipakai berkali-kali disebut bivalve (dua
setangkup). Perunggu merupakan campuran timah putih dan tembaga.
Pada zaman perunggu atau yang
disebut juga dengan kebudayaan Dongson-Tonkin Cina (pusat kebudayaan)ini
manusia purba sudah dapat mencampur tembaga dengan timah dengan perbandingan 3 : 10
sehingga diperoleh logam yang lebih keras.
Alat-alat perunggu pada zaman ini antara lain :
a. Kapak Corong (Kapak perunggu, termasuk golongan
alat perkakas) ditemukan di Sumatera Selatan, Jawa-Bali, Sulawesi, Kepulauan
Selayar, Irian
b. Nekara Perunggu (Moko) sejenis dandang yang
digunakan sebagai maskawin. Ditemukan di Sumatera, Jawa-Bali, Sumbawa, Roti,
Selayar, Leti
c. Benjana Perunggu ditemukan di Madura dan Sumatera.
d. Arca Perunggu ditemukan di Bang-kinang (Riau),
Lumajang (Jawa Timur) dan Bogor (Jawa Barat.
A. Kapak Corong
Pada zaman
kebudayaan di Eropa, menghasilkan kapak-kapak tembaga yang masih menyerupai
kapak batu. Bentuk dan wujud dari kapak tembaga itu tidak berbeda dari dari
kapak batu, bahkan sering terdapat tanda bahwa sengaja tembaga itu menyerupai
bentuk batu.
Di
Indonesia, kapak logam yang ditemukan adalah kapak perunggu yang sudah
menyerupai bentuk tersendiri. Kapak ini biasanya dinamakan”kapak sepatu”,
maksudnya ialah kapak yang bagian atasnya berbentuk corong yang sembirnya
belah, sedangkan ke dalam corong itulah dimasukkan tangkai kayunya yang menyiku
kepada bidang kapak. Jadi, seolah-olah kapak disamakan dengan sepatu dan
tangkainya dengan kaki orang. Lebih tepat kapak ini dinamakan kapak corong.
Kapak corong
banyak ditemukan di Sumatera Selatan, Jawa, Bali, Sulawesi Tengah dan Selatan,
pulau Selayar dan Irian dekat danau Sentani. Berbagai jenis ditemukan, ada yang
kecil bersahaja, ada yang besar dan memakai hiasan; ada yang pendek lebar, ada
yang bulat, dan ada pula yang panjang satu sisi. Yang panjang satu sisi disebut
Cendrasa. Tidak semua kapak itu dipergunakan sebagai kapak. Misalnya, yang
kecil adalah tugal, sedangkan yang sangat indah dan juga cendrasa tidak dapat
digunakan sebagai perkakas dan hanya dipakai sebagai tanda kebesaran dan alat
upacara saja.
Cara
pembuatan kapak-kapak corong itu menunjukkan adanya tehnik a cire perdue. Di
dekat Bandung ditemukan cetakan dari tanah bakar untuk menuang kapak corong.
Berdasarkan penyelidikan, menyatakan bahwa yang dicetak bukan logamnya,
melainkan kapak yang dibuat dari lilin, ialah kapak yang menjadi kodel dari
kapak loamnya. Cetakan-cetakan itu membutikan bahwa kapak-kapak perunggu bukan
barang luar negeri saja, melainkan negeri Indonesia pun mengenalnya.
B.
Nekara
Nekara
adalah semacam berumbung dari perunggu yang berpinggang di bagian tengahnya dan
sisi atasnya tertutup. Nekara yang ditemukan di Indonesia hanya beberapa yang
utuh. Bahkan ada yang berupa pecahan-pecahan saja. Nekara itu ditemukan di
Sumatera, Jawa, Bali, pulau Sangean dekat Sumbawa, Roti, Leti, Selayar dan di
Kepulauan Kei. Di Alor banyak pula tedapat nekara, tetapi lebih kecil dan
ramping daripada yang ditemukan di lain-lain tempat. Nekara yang demikian itu
disebut moko. Dari hias-hiasannya dapat diketahui bahwa moko itu tidak semunya
berasal dari zaman perunggu. Ada diantaranya yang berasal darizaman majapahit,
bahkan ada yang dibuat dari zaman mutakhir abad 19, dengan memakai hiasan
lencana Inggris. Sampai kini moko sangat dihargai penduduk dan hanya disimpan
saja sebagai pusaka dan ada dipergunakan sebagai maskawin.
Di Bali
terdapat nekara yang besar sekali. Sampai kini yang terbesar dan masih utuh
tingginya 1,86 meter dan garis tengahnya 1, 60 meter. Nekara itu dianggap
sangat suci dan dipuja penduduk. Tidak hanya di Bali, di tempat lain nekara pun
dianggap barang suci. Penyelidikan
menunjukan bahwa nekara ini memang hanya dipergunakan waktu upacara-upacara
saja.
Hiasan-hiasan
itu sangat luar biasa pentingnya untuk sejarah kebudayaan, oleh karena dari
berbagai lukisan itu, kita dapat gambaran tentang kehidupan dan kebudayaan yang
ada pada saat itu. Dari hiasan-hiasan itu nampak dengan nyata, bahwa kebudayaan
perunggu Indonesia tidak berdiri sendiri, melainkan hanya merupakan bagian dari
lingkungan kebudayaan yang lebih luas yang meliputi seluruh Asia Tenggara.
Pada nekara
dari Sangean ada ganbar orang menunggang kuda beserta dengan pengiringnya,
keduanya memakai pakaian Tatar. Gambar-gambar orang Tatar itu memberi petunjuk akan adanya hubungan
dengan daerah Tiongkok. Pengaruh dari zaman itu masih nyata pada seni hias suku
bangsa Dayak dan Ngada(Flores).
Nekara dari
Sangean dan kepulauan Kei dihiasi gambar-gambar gajah, merak dan harimau,
semuanya bukan bintang dari bagian timur. Maka dapat disimpulkan bahwa
nekara-nekara itu dari lain tempat asalnya, ialah bagian dari barat Indonesia
dan benua Asia. Jelas bahwa persebaran nekara-nekara di Indonesia dari barat ke
timur jalannya.
Dapat
dikatakan bahwa tidak semua nekara berasal dari luar Indonesia. Ada pula buatan
dalam negeri. Di desa Manuaba(Bali)
ditemukan sebagian dari cetakan batu untuk membuat nekara, kini disimpan dan
dipuja di sebuah pura di desa tersebut. Batu cetakan itu diukir oleh
hiasan-hiasan yang biasa terdapat pada nekara, terutama sebagian dari
hiasan-hiasan nekara pajeng. Adanya batu cetakan nekara itu memberi kesan
bahwa, nekara itu pembuatannya dengan cara menuangkan cairan perunggu ke dalam
cetakan tadi. Akan tetapi banyak ahli berpendapat bahwa yang dicetak dengan
cetakan batu itu hanyalah nekara lilinnya saja, sedangkan nekara perunggu
dibuat dengan cara a cire perdue.
C.
Benda-benda lainnya
Selain kapak
corong dan nekara, banyak benda-benda lain yang didapatkan dari zaman perunggu,
sebagian besar berupa perhiasan seperi: gelang, binggel (gelang kaki),
anting-anting, kalung dan cincin. Ada cincin yang sangat kecil. Yang tidak dapat
dimasukkan jari anak-anak, ini dapat digunakan sebagai alat penukaran uang.
Seni menuang
patung juga sudah ada. Dengan adanya beberapa buah patung, di antaranya
arca-arca orang yang sikapnya aneh dan satu arca lagi berupa kerbau. Ada juga
beberapa patung kecil kepala binatang dengan badan yang serupa pembuluh; pada
bagian atas badannya ditempel semacam cincin, sehingga benda itu dapat
digantung, ini dapat digantung sebagai liontin(perhiasan yang menggantung pada
kalung).
Dari daerah
tepi danau Kerinci dan dari pulau madura ditemukan bejana perunggu yang
bentuknya seperti periuk tetapi langsing dan gepeng. Kueduanya mempunyai hiasan
ukiran yang serupa dan sangat indah, berupa gambar-gambar geometri dan
pilin-pilin yang mirip huruf j. Di samping itu pada bejana dari Madura nampak
pula gambar-gambar merak dan rusa dalam kotak-kotak segitiga.
Selain
benda-benda perunggu ada lagi benda yang bukan dari perunggu tetapi ada pada
zaman perunggu asalnya, yaitu manik-manik dari kaca. Terdapat pada
kuburan-kuburan, jumlahnya sangat besar, sehingga memberi corak istimewa pada
zaman perunggu itu. Manik itu sebagai nekara kecil dan mata uang, dibawa kepada
orang yang telah meninggal sebagai bekal ke akhirat. Dapat dikatakan bahwa pada
zaman perunggu, orang telah pandai membuat dan menuang kaca. Hanya tehniknya
saja yang masih sederhana, karena hasilnya yang kebanyakan agak kasar dan
kadang-kadang masih bercampur pasir(pasir adalah bahan membuat kaca).
Manik-manik
itu ada yang besar dan ada yang kecil. Bentuknya pun bermacam-macam, begitu
pula warnanya:kuning, merah, biru, hijau, dan putih. Banyak pula yang berwarna
banyak, hasil pencampuran berbagai lapis kaca dengan warna yang berlainan.
Manik-manik itu dibuat dan dipakai sampai zaman sejarah. Sampai kini banyak
orang dan suku bangsa di Indonesia yang sangat menyukai dan menghargai barang
itu, sehingga menjadi barang perdagangan, misalnya di Kalimantan, Timor dan
Irian.
1.
Zaman Besi
Dalam arkeologi, Zaman Besi adalah
suatu tahap perkembangan budaya manusia di mana penggunaan besi untuk pembuatan
alat dan senjata sangat dominan. Penggunaan bahan baru ini, di dalam suatu
masyarakat sering kali mencakup perubahan praktik pertanian, kepercayaan agama,
dan gaya seni, walaupun hal ini tidak selalu terjadi.
Zaman Besi adalah periode utama
terakhir dalam sistem tiga zaman untuk mengklasifikasi masyarakat prasejarah,
yang didahului oleh Zaman Perunggu. Waktu berlangsung dan konteks zaman ini
berbeda, tergantung pada negara atau wilayah geografis. Secara klasik, Zaman
Besi dianggap dimulai pada Zaman Kegelapan Yunani pada abad ke-12 SM dan Timur
Tengah Kuno, abad ke-11 SM di India, dan antara abad ke-8 SM (Eropa Tengah) dan
abad ke-6 SM (Eropa Utara) di Eropa. Zaman Besi dianggap berakhir dengan
kebangkitan kebudayaan Hellenisme dan Kekaisaran Romawi, atau Zaman Pertengahan
Awal untuk kasus Eropa Utara.
Zaman Besi berhubungan dengan suatu
tahap di mana produksi besi adalah salah satu bentuk paling rumit dari
kerajinan logam. Kekerasan besi, titik lebur yang tinggi, dan sumber bijih besi
yang melimpah, membuat besi lebih dipilih dan murah dari pada perunggu, yang
memengaruhi dipilihnya besi sebagai logam yang paling umum digunakan. Karena
kerajinan besi diperkenalkan secara langsung ke Amerika dan Australasia oleh kolonisasi
Eropa, daerah-daerah tersebut tidak pernah mengalami Zaman Besi.
Pada zaman ini orang sudah dapat melebur besi dari bijinya
untuk dituang menjadi alat-alat yang diperlukan. Teknik peleburan besi lebih
sulit dari teknik peleburan tembaga maupun perunggu sebab melebur besi
membutuhkan panas yang sangat tinggi, yaitu ±3500 °C.
Pada masa ini manusia telah dapat melebur besi untuk dituang
menjadi alat-alat yang dibutuhkan, pada masa ini di Indonesia tidak banyak
ditemukan alat-alat yang terbuat dari besi.
Alat-alat yang ditemukan adalah :
· Mata kapak, yang
dikaitkan pada tangkai dari kayu, berfungsi untuk membelah kayu
· Mata Sabit,
digunakan untuk menyabit tumbuh-tumbuhan
· Mata pisau
· Mata pedang
· Cangkul, dll
Jenis-jenis benda tersebut banyak ditemukan di Gunung
Kidul(Yogyakarta), Bogor, Besuki dan Punung (Jawa Timur)
2.
Zaman Tembaga
Orang
menggunakan tembaga sebagai alat kebudayaan. Alat kebudayaan ini hanya dikenal
di beberapa bagian dunia saja. Di Asia Tenggara (termasuk Indonesia)
tidak dikenal istilah zaman tembaga.
3.
Kebudayaan Dongson
Kebudayaan Đông sơn adalah
kebudayaan zaman perunggu yang berkembang di lembah sông hồng,vietnam.
Kebudayaan ini juga berkembang di asia tenggara, termasuk di nusantara dari
sekitar 1000 sm sampai 1 sm. Kebudayaan dongson mulai berkembang di indochina
pada masa peralihan dari periode mesolitik dan neolitik yang kemudian periode
megalitik. Pengaruh kebudayaan dongson ini juga berkembang menuju nusantara
yang kemudian dikenal sebagai masa kebudayaan perunggu.
Asal mula kebudayaan ini berawal
dari evolusi kebudayaan austronesia . Asal usulnya sendiri telah dicari dari
barat dan bahkan ada yang berpendapat bahwa kelompok itu sampai di dongson
melalui asia tengah yang tidak lain adalah bangsa yue-tche .namun pendapat ini
sama halnya dengan pendapat yang mengaitkan dongson dengan kebudayaan halstatt
yang ternyata masih diragukan kebenarannya.
Asumsi yang digunakan adalah bahwa
benda-benda perunggu di yunnan dengan benda-benda yang ditemukan di dongson.
Meski harus dibuktikan apakah benda-benda tersebut dibuat oleh
kelompok-kelompok dari barat sehingga dari periode pembuatannya, dapat
menentukan apakah benda tersebut adalah model untuk dongson atau hanyalah
tiruan-tiruannya. Jika dugaan ini benar maka dapat menjelaskan penyebaran
kebudayaan dongson sampai ke dataran tinggi burma.
Benda-benda arkeologi dari dongson
sangat beraneka ragam, dari berbagai aliran. Terlihat dari artefak-artefak
kehidupan sehari-hari ataupun peralatan bersifat ritual yang sangat rumit.
Perunggu adalah bahan pilihan. Benda-benda seperti kapak dengan selongsong,
ujung tombak, pisau belati, mata bajak, topangan berkaki tiga dengan bentuk yang
indah. Kemudian gerabah dan jambangan rumah tangga, mata timbangan dan kepala
pemintal benang, perhiasan-perhiasan termasuk gelang dari tulang dan kerang,
manik-manik dari kaca dan lain-lain. Karya yang terkenal adalah nekara besar
diantaranya nekara ngoc-lu yang kini disimpan di museum hanoi, serta
patung-patung perunggu yang sering ditemukan di makam-makam pada tahapan
terakhir masa dongson.
BAB III
PENUTUP
1. KESIMPULAN
Kebudayaan dan masyarakat merupakan satu kesatuan yang tidak
dapat dipisahkan. Masyarakat dapat bertahan hidup karena menghasilkan
kebudayaan, kebudayaan itu ada karena dihasilkan oleh masyarakat. Dan melalui
kebudayaanlah segala corak kehidupan masyarakat dapat diketahui.
Dengan demikian dari hasil-hasil kebudayaan material dapat dikaji
dan dipelajari corak kehidupan masyarakat prasejarah Indonesia. Berdasarkan
hasil-hasil kebudayaan yang ditinggalkan oleh masyarakat di kepulauan Nusantara
sebelum mengenal tulisan, maka kehidupan masyarakat paling awal di Indonesia
oleh para ahli di bagi menjadi dua zaman. Dua zaman tersebut yaitu:
A. Zaman Batu
• Zaman batu tua ( Paleolithikum)
• Zaman batu madya (Mesolithikum)
• Zaman batu muda ( Neolithikum)
• Zaman batu besar ( Megalithikum)
B. Zaman Logam
• Zaman tembaga
• Zaman perunggu
• Zaman besi
Di Asia Tenggara, termasuk Indonesia tidak mengenal zaman tembaga. Demikian juga peninggalan zaman besi jumlahnya juga sangat sedikit dan waktunya bersamaan dengan zaman perunggu sehingga di Indonesia hanya mengenal zaman perunggu saja
2.
SARAN
Peninggalan
sejarah dalam bentuk apapun, baik dalam bentuk artefak maupun kebudayaan
hendaknyalah dilestarikan dan dijaga jke asliannya.
How to deposit and withdraw at the online casino site
BalasHapusThe best online casino sites. What are the best gambling websites? 카지노사이트luckclub What are the best casinos for players to use online casino games? How to deposit
Harrah's Cherokee Casino & Hotel - Mapyro
BalasHapusHarrah's Cherokee Casino & 보령 출장마사지 Hotel is a 태백 출장샵 commercial casino hotel in Cherokee, 충청남도 출장마사지 North Carolina. Harrah's Cherokee Casino & Hotel is 남양주 출장안마 a hotel and 평택 출장안마 casino